Sabtu, 22 Maret 2008

قدافلح من تزكي وذكر1سم ربه فصللى

Mengatasi Rasa Sakit Dengan SholatFeb 7, '08 1:40 AM
for everyone

Berawal dari Firman Allah SWT


قدافلح من تزكي وذكر1سم ربه فصللى


Sesunggunya beruntunglah orang yang menbersihkan/menyehatkan jiwanya. Dan dia berzikir kepada TuhanNya, lalu dia menegakan sholat.

(QS.: Al-A`laa: 14-15)

“Menjaga kebersihan adalah bagian dari iman”. Dalam Hadits lain berbunyi: “Allah lebih mencintai mu`min yang kuat dari pada mu`min yang lemah. Serta dalam kaidah ushuliyyah dan lain sebagainya. Bila tubuh manusia tidak diberi hak sesuai ajaran agama tersebut maka akan mengalami ketidakseimbangan dalam hidup dan akan mudah terserang penyakit. ulama berpendapat bahwa: kesehatan badan didahulukan di atas sempurnanya ibadah. Itulah beberapa ungkapan agama dalam menjaga kesehatan dari timbulnya penyakit. Kesehatan dalam Islam merupakan masalah penting. Banyak ayat Al-Qur`an dan Hadist yang menunjukkan pentingnya menjaga kesehatan, diantaranya berwudlu, mandi, sholat, puasa, haji, makanan halal lagi baik (bergizi), keseimbangan makanan (minuman dan udara dalam makan), kemudian diaturnya tidur untuk istirahat, siang untuk mencari penghidupan, malam untuk istirahat

Timbulnya penyakit berawal dari pola hidup yang tidak sehat dan tidak seimbang, sehingga tubuh mudah terkena penyakit. Ditambah lagi dengan gaya hidup moderen menambah kuantitas dan kualitas penyakit, diantaranya penyakit gula, darah tinggi, jantung, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit masyarakat di zaman ini memiliki masalah psikologis, seperti cemas, stres, panyakit psikosomatis, bahkan penyakit yang paling parah kata Nabi Muhammad SAW. adalah penyakit wahan (terlalu cinta pada dunia dan takut mati). Al-Qorni (2005) menyatakan generasi saat ini adalah generasi yang sedang menderita sakit kejiwaan.

Menurut Ancok (1994) bahwa ada jenis penyakit yang belum diketahui dasar fisiologisnya. Penyakit ini menimbulkan dampak psikologis. Ada beberapa jenis penyakit ini, diantaranya causalgia, neuralgia, dan phantom limb pain. Causalgia adalah rasa sakit seperti terbakar yang seringkali disebabkan oleh luka kena pisau atau tembakan. Anehnya rasa sakit tersebut baru muncul setelah luka itu sembuh. Neuralgia adalah adalah rasa sakit yang datangnya tiba-tiba sepanjang alur saraf. Sakit ini muncul setelah luka pada saraf feriferal sembuh. Sedangkan phantom limb pain adalah rasa sakit dikarenakan amputasi. Rasa sakit ini tetap muncul walaupun bekas amputasinya sudah sembuh.

Rasa sakit merupakan topik yang sangat kuno yang tidak henti dibahas. Rasa sakit sudah dicatat sejak abad ke-3 SM. sewaktu Theophrastus menggunakan meconion (opium) bagi pasien-pasiennya yang mengeluh rasa sakit (Prawirohusodo, 1994). Hingga sekarang penanganan rasa sakit dilakukan dengan berbagai pendekatan, seperti pendekatan medis dan farmakologik, pendekatan alternatif berupa intervensi psikologik dan psikiatrik, pendekatan psikoterapi dan fisioterapi dan lain sebagainya.

A. Proses Kognitif Rasa Sakit

Perasaan sakit sulit dinyatakan secara obyektif. Intensitas rasa sakit tergantung pada interpretasi masing-masing orang yang mengalaminya. Menurut Prof. Dr. Jamaluddin Ancok (1995) perasaan sakit dapat disebabkan oleh luka luar atau luka dalam atau kondisi lainnya. Perasaan sakit memiliki rasa nyeri pada badan. Perasaan sakit sangat berhubungan hubungan rasa nyeri. Intenatonal Association for the Study of Pain (dalam Prawirohusodo, 1994) memberikan definisi nyeri, bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan tubuh. Menurut beberapa ahli filsafat bahwa rasa nyeri yang dialami ketika sakit adalah proses emosi (Prawirohusodo, 1994). Dalam definisi tersebut terdapat makna psikologis dalam perasaan sakit. Secara psikologis rasa sakit merupakan persepsi emosional dari kerusakan jaringan pada tubuh.

Pemberian makna di otak terhadap rangsang yang datang merupakan kegiatan yang berjalan secara alamiah dan merupakan proses otomatis, sehingga setiap orang hampir tidak menyadarinya. Interpretasi ini sangat berhubungan dengan aktivitas perhatian (attention) yang dilakukan orang pada rangsang. Bila perhatian tertuju pada rangsang itu dengan kuat, maka akan menimbulkan persepsi kuat pula. Sebagaimana pula hal tersebut terjadi pada persepsi perasaan sakit.

Rasa sakit pada umumnya dapat dikurangi dengan mengunakan bahan-bahan yang terdapat di alam dan bahan kimia. Akhir-akhir ini dikembangkan pendekatan psikologis untuk menyembuhkan rasa sakit. Beberapa pendekatan telah diusahakan berupa pendekatan kognitif, relaksasi, meditasi dan lain sebagainya. Secara rinci Ancok (1995) memberikan pengertian beberapa pendekatan dalam menangani rasa sakit berupa;

1. Pendekatan Bio-feedbeck. Teknik ini dipakai untuk mengontrol kerja sistim saraf para simpatikus seperti detak jantung dan tekanan darah. Detak jantung atau tekanan darah tersebut dirubah dalam sinyal suara (tone) melalui sebuah alat elektronik, yang kemudian diperdengarkan pada sipasien. Sinyal suara tersebut dapat diatur oleh sipasien dengan ‘kehendaknya’ melalui konsentrasi pikiran, pengaturan pernafasan, dan pemblokiran semua suara yang masuk. Dengan latihan-latihan sipasien dapat menurunkan tekanan darahnya, atau detak jantungnya. Alat ini berfungsi ganda dalam menghilangkan rasa sakit yakni melalui penurunan kecemasan dan pengalihan perhatian dari rasa sakit.

2. Relaksasi. Relaksasi adalah upaya untuk menurunkan ketegangan emosi yang dilakukan dengan berbagai cara. Berbagai teknik seperti meditasi, yoga, dan latihan kejang-kendor otot dapat mengurangi rasa sakit, karena teknik tersebut dapat menurunkan kecemasan yang ditimbulkan oleh rasa sakit.

3. Hipnosis. Kondisi ‘trance’ dalam hipnosis dapat menyebabkan orang melupakan rasa sakit. Khusunya rasa sakit yang akut seperti sakit melahirkan, cabut gigi, atau luka kena pisau.

4. Pengalihan perhatian. Memperdengarkan musik, atau menonton acara (TV) yang menarik di ruang praktek dokter gigi akan mengurangi perhatian pada rasa sakit di saat gigi sedang dicabut oleh dokter.

5. Guided Imagery. Si pasien yang sedang merasakan sakit dimintä untuk membayangkan hal-hal yang indah, seperti suasana damai secara terus menerus.

6. Placebo.Obat-obatan yang sebenarnya tidak berkhasiat untuk mengobati sakit, bila diyakini oleh pasien sebagi obat penghilang rasa sakit akan mampu menurunkan rasa sakit. Efek placebo inilah yang menurunkan rasa sakit.

Beberapa pendekatan psikologis yang telah dikemukakan tersebut memiliki kelemahan dalam hal materi/muatan yang disampaikan dalam proses terapi. Hasil yang diperoleh dari proses terapi tersebut hanya menurunkan ketegangan emosi secara fisik dan sementara. Aspek spiritual dalam materi terapi tidak digunakan, sehingga hasilnya tidak berjalan secara maksimal. Banyak pasien yang telah diterapi, namun beberapa saat setelah itu sakitnya terasa kembali.

Ilmu psikologi yang diharapkan ikut andil dalam pemecahan atau penyelesaian masalah ini nampak “kurang“ dapat berperan. Hal ini dapat dipahami karena psikologi telah kehilangan “ruhnya”, yaitu psikologi telah jauh dari nilai-nilai agama. Hal ini seperti telah dikemukan oleh Erich Fromm yang dikutip oleh Najati (dalam Haryanto, 1999) bahwa psikologi telah kehilangan makna, karena telah meninggalkan hal esensi yaitu “dimensi ruh”. Bahkan menurut Rahmat (dalam Kartono dan Andari, 1989) ada beberapa psikolog yang kurang simpatik pada agama. William James menganggap tokoh agama sebagai makhluk yang mempunyai sensibilitas emosional yang luar biasa. Para Nabi dan orang-orang suci menurut pemikiran James memiliki perasaaan yang berlebih-lebihan, melankolis, mengidap halusinasi dan delusi yang menyesatkan, mendengar atau melihat sesuatu yang khayali. Selanjutnya Sigmund Freud menganggap agama sebagai gejala neurosis obsesi yang universal. Sedang Anton P. Baisen berteori bahwa agar orang bisa menghayati agama lebih baik, dia harus melewati tahap schizophrenia lebih dahulu. Oleh karena itu saatnya Psikologi Islami menjadi acuan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Al-qur`an merupakan kitab suci, bukan buku ilmu pengetahuan. Tapi, Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia (hudan linnas) memuat konsep-konsep sistemik dan referensi ilmu pengetahuan yang dapat diaplikasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Dalam memahami konsep tersebut dibutuhkan ijtihad pikiran yang didasari kekuatan imani, bukan keraguan. Dalam ayat berikut secara berturut-turut dalam surah Fushilat: 52, 53,dan 54 memuat kebenaran konsep Al-Qu`ran tentang dimensi kepribadian manusia dan konsep psikologi islami yang didasari keyakinan.

Bagaimana pendapatmu jika (Psikologi Islami/Al-Qur`an) itu datang dari Allah SWT, kemudian kamu mengingkarinya? Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh (Psikologi Barat)? (QS. Fushilat: 52)

Akan Kami perlihatkan kepada kamu sekalian ayat-ayat Kami (psikologi Islami) di dalam alam semesta dan di dalam dirimu sendiri sehingga kamu akan menjadi yakin bahwa Kami (Al-Qur`an) benar adanya (QS. Fushilat ; 53)

Ingatlah bahwa sesunguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. (QS. Fushilat ; 54)

B. Sholat Pondasi Utama Terapi

Sholat merupakan ibadah ritual yang telah diperintahkan Allah SWT. sejak dahulu kepada para nabi beserta seluruh pengikutnya. Perintah sholat telah ada pada zaman nabi Ibrahim, Ishaq, Ya`kub, Ismail, Isa beserta umatnya dan termasuk umat Nabi Muhammad SAW. Lihat QS.: 21: 73, 19:55, 2:83, 5:12, 19:30, 19:31 dan 98:5 Hadhiri (1995). Sholat merupakan kewajiban dan sekaligus kebutuhan esensial untuk mewujudkan manusia seutuhnya. Sejak kecil anak dianjurkan untuk sholat, bahkan menurut hadist, jika usia anak sudah mencapai sepuluh tahun tidak mendirikan sholat maka anak tersebut dapat diberi ganjaran (hukuman yang bersifat mendidik). Hal ini juga diperkuat dalam QS. Luqman: 17.

Sholat merupakan ibadah mahdha yang telah ditentukan tata caranya. Perintah sholat diperoleh secara langsung dari Allah Swt., yaitu pada saat Nabi Muhammad Saw. menjalankan Isra’ Mi’raj. Sebagaimana dikutip dalam QS. Al-Isra`:1. Ada 5 (lima) waktu diwajibkannya sholat, yaitu sholat subuh, dhuhur, ashar, maghrib dan isya`. Kemudian seorang muslim dianjurkan untuk melaksanakan sholat sunat, diantaranya; sholat dua hari raya (idul fitri – idul adha), sholat gerhana bulan dan gerhana matahari, sholat istisqo` (minta hujan), sholat sunat rawatib ( dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat sebelum dan sesudah dhuhur, dua rakaat sebelum ashar, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah isya`), sholat tahiyyatul masjid (menghormati masjid), sholat akan bepergian – keluar rumah, sholat dluha, sholat setelah berwudlu, sholat istiharoh (meminta petunjuk yang baik), sholat muthlaq (tidak ditentukan waktu dan rakaatnya), dan sholat tahajjud. Sebelum melaksanakan sholat ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Adapun syarat sah sholat (sebelum sholat dilakukan) adalah: suci dari hadast besar dan kecil, suci: badan, pakaian,dan tempat dari najis, menutup aurat, telah masuk waktu sholat dan menghadap kiblat. Yang termasuk rukun sholat (dalam melakukan sholat) adalah: niat, berdiri bagi yang mampu, takbiratul ikhram, membaca surah Al-Fatihah, rukuk dengan tuma`ninah, sujud dua kali dengan tuma`ninah, duduk di antara dua sujud, duduk akhir, membaca tasyahud akhir, membaca sholawat nabi dan mengucapkan salam (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1996 dan Sulaiman Rasjid, 1998).

Sholat menurut bahasa Arab berarti berdoa. Sholat juga mengandung arti dzikir/ ingat pada Allah SWT. Sholat merupakana aktivitas dzikrullah. Perintah dzikir dalam agama Islam dilakukan kapan saja, baik berdiri, duduk maupun waktu berbaring. Sholat adalah beberapa ucapan atau rangkaian ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam serta menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh agama. Ash Shiddieqy (1983) bahwa perkataan sholat dalam bahasa Arab berarti doa memohon kebajikan dan pujian; sedangkan secara hakekat mengandung pengertian “berhadap hati (jiwa) kepada Allah dan mendatangkan takut kepadaNya, serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaranNya dan kesempurnaan kekuasaanNya”.

Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab (1992) bahwa sholat merupakan kebutuhan akal-pikiran dan jiwa manusia, dan merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya (insan kamil / kaffah). Menurut Al-Qur`an ada beberapa hikmah yang dapat diambil dari dholat, yaitu sholat merupakan sarana menusia untuk menghubungkan diri dengan Allah (hablum minallah) lihat QS. 20:14. Sholat dan sabar sebagai penolong, lihat QS. 2:153. Sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar, lihat QS. 29:45 dan 70:23. Sholat mempunyai hikmah kedisiplinan diri terhadap waktu, QS.11;114. Sholat dapat memupuk rasa persamaan, persatuan, dan persaudaraan, QS. 4: 102. Sholat sebagai sarana yang tetap menjaga kebersihan diri, QS. 5; 6. (Hadhiri, 1995). Sholat adalah satu-satunya cara untuk membersihkan jiwa dan raga manusia (QS.Al-Muddatsir: 4). Dalam hadist shoheh, kitab Abu Daud disebutkan bahwa “Sholat dapat menghilangkan penyakit dari tubuh” (Al-Qorni, 2005).

Banyak ahli yang telah mengkaji mengenai aspek terapeutik sholat dan makna secara psikologis dari sholat, misalnya Adi (1985), Daradjat (1979), Ancok (1989), Haryanto (1993; 1994), Shihab (1992), Saboe (1986), Najati (1985) dan masih banyak lagi. Ancok (1989) dan Adi (1985) ada beberapa aspek terapeutik yang terdapat pada ibadah sholat, antara lain aspek olah raga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti, aspek kebersamaan, dan aspek atau unsur katarsis.

Kajian-kajian mengenai ibadah sholat yang dilakukan selama ini masih memiliki kelemahan pada aspek penerapannya secara kualitas, yang masih melihat sisi psikologisnya saja atau sebaliknya hanya melihat sisi agamanya saja. Tulisan ini mencoba mengkaji dua sisi tersebut, yaitu dari sisi ilmiah-psikologi dan dari sisi agama yang berdasarkan Al Qur`an dan Hadits Nabi dalam menangani rasa sakit .

C. Wudlu sebagai terapi

Seseorang yang akan menjalankan sholat harus bersih dari hadast besar maupun kecil, sehingga ia harus berwudlu apabila berhadas kecil, dan mandi kalau berhadast besar (junub), lihat QS. 5:6. Saboe (1986) dalam bukunya yang berjudul “hikmah kesehatan dalam sholat” menyatakan sholat dan wudlu adalah suatu sikap tubuh yang paling sempurna dan paling ideal untuk mencapai kesempurnaan kesehatan badaniah maupun bathiniah.

Menurut Adi dan Effendy (dalam Haryanto 1999) wudlu ternyata memiliki efek refresing, penyegaran, membersihkan badan dan jiwa, serta pemulihan tenaga. Wudlu juga memiliki dampak fisiologis, hal ini terbukti bahwa dibasuhnya tubuh dengan air sebanyak lima kali sehari akan membantu dalam mengistirahatkan organ-organ tubuh dan meredakan ketegangan fisik dan psikis. Wudlu itu ada dua macam, yaitu wudlu lahir dan wudlu batin Oleh karena itu dapat dipahami apabila seseorang yang sedang marah oleh Rasulullah Saw. disarankan untuk mengambil air wudlu, yaitu sesuai dengan sabdanya: “Apabila engkau sedang marah, maka berwudlulah”.

Terapi dengan menggunakan efek air ini sebenarnya telah lama dikenal dalam dunia kedokteran, demikian pula pada masyarakat-masyarakat tertentu air juga merupakan aspek yang penting dalam upacara-upacara. Terapi air ini juga dilakukan di Inabah Pondok Pesantren Suryalaya yang dikenal dengan pembinaan terhadap korban penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya dengan mandi besar. Hal mi didukung oleh ftrman Allah dalam Al Quran:

“... dan Allah menurunkan kepadamu (air) hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu, dan menghilangkan dari kamu gangguan syetan (penyakit) dan untuk menguatkan hatimu.. (QS. 8:11)”.

Di dunia kedokteran dikenal adanya “Hukum Baruch dan Hidroterapi”, hukum Baruch adalah hukum atau teori yang diciptakan oleh Simon Baruch (1840-192 1), Ia seorang dokter dari Amerika. Menurut teori ini air memiliki daya penenang jika suhu air sama dengan suhu kulit, sedangkan apabila suhu air lebih tinggi atau lebih rendah akan memberikan efek stimulan atau merangsang Hidroterapi merupakan pengobatan ilmiah yang memanfaatkan air dengan manfaat menghilangkan rasa lelah dan menghilangkan ketegangan, mendinginkan dan merangsang tubuh untuk mengkerutkan pembuluh kapiler, merangsang sistem kardiovaskuler, melemaskan semua otot tubuh, dan akan melemaskan jaringan dan berefek pada kapiler-kapiler di kulit, hal ini karena banyak darah dari jaringan yang akan ditanik ke kulit. Di samping itu juga dapat mengurangi rasa nyeri (Effendy dalam Haryanto 1999).

D. Kuncinya pada Kualitas Sholat

واذا مرضث فهو يشفين

Dan apabila aku sakit, maka dialah (Allah) yang menyembuhkanku

(As-Syuaraa`: 80)

Kita ingat, ketika sahabat Ali bin Abi Thalib RA mengalami rasa sakit yang sungguh luar biasa, yang kemudian dengan menjalankan sholat sakitnya tersebut tidak terasa. Suatu saat dalam peperangan beliau terkena sebuah anak panah yang bersarang dipunggungnya. Sahabat lain mencoba untuk mencabutnya, dengan rasa sakit yang tak terhingga beliau berteriak. Atas usul sahabat lainnya, maka beliau melakukan sholat. Di tengah-tengah sholat tersebut anak panah dicabut secara perlahan hingga keluar dari tubuhnya. Hingga akhir sholat dan salam telah diucapkan, beliau bertanya pada sahabat, “apakah anak panah itu sudah keluar dari tubuhku?”. Sebuah kisah, tetang seorang pasien yang terkena panyakit jantung, dokter menyarankannya agar melaksanakan sholat wajib dengan taratur, dan akhirnya pasien tersebut dapat sembuh. Kisah tersebut bukanlah isapan jempol belaka. Setiap orang dapat pula merasakan manfaat dari sholat yang dilakukannya. Sholat tidak hanya dapat menyembuhkan penyakit psikis/rohani, tapi juga sholat dapat mengatasi rasa sakit dan menyembuhkan penyakit fisik.

Beberapa ahli kesehatan menerangkan manfaat sholat dari aspek kesehatan jasmani dan Rohani. Menurut Dr. RH. Su`dan MD. SKM. (1997) gerakan sholat penting untuk kesehatan (senam kamar). Setiap gerakan dalam sholat adalah sesuai dengan tuntunan ilmu kesehatan. Misalnya sikap qiyam, rukuk, I`tidal, sujud, dudukjilsah, qa`dan, iftirasy dan tawarruk. Banyak penyakit yang dapat dicegah dengan sikap tersebut. Seperti rematik, lumbago, spondylosis, spondiloarthorosis, arthtritis, ischias, dan bawasir. Juga bermanfaat bagi wanita hamil. Pria dapat terhindar dari impotensia, hypertrophia, dan kemandulan. Secara psikis, sholat mengandung manfaat yang luar biasa. Ketika sujud, kepala berada pada posisi terendah sehingga darah banyak mangalir ke otak. Nadi di otak dilatih menerima banyak darah, sehingga opoplexi atau pitam karena pecahnya nadi di otak dapat terhindar. Terutama juga karena ketenangan jiwa dan berat badan sewaktu sholat dapat memobilisir lemak dan mencegah sclerosis.

Sholat mempunyai efek seperti obat yaitu efek depresan (efek ketenangan) seperti yang dialami oleh Ali RA dan beberapa orang yang telah merasakan manfaat sholat di atas. Konsentrasi pada masalah (stimulus/rangsang) lain dapat menghambat situmulus rasa sakit sampai ke otak, sehingga rasa sakit kurang dirasakan. Menurut Ancok (1995):

Bila perhatian seseorang ditujukan pada rasa sakit, maka ia akan semakin merasakan rasa sakit. Sebaliknya bila ada suatu kegiatan yang menarik perhatian seseorang dari rasa sakit, maka intensitas rasa sakit kurang dirasakan. Rasa sakit tergantung konteks saat dialami. Seorang pemain bola yang kakinya terluka, sering sekali tidak merasakan sakit di saat asyik bermain bola.

Ancok (1989) menjelaskan fenomena ini dengan gate system theory. Menurut teori ini, rangsang sakit yang masuk ke dalam otak dapat dihambat oleh rangsang lain, dalam kasus ini adalah sholat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsentrasi yang penuh dalam sholat, yaitu hanya mengingat Allah Swt. akan nenutup rangsang lain yang akan terbawa ke otak.

Alvan Goldstein telah menemukan semacam zat morfin alamiah yang ada dalam otak manusia yang disebut endogonius morphin atau yang sering disingkat dengan edorphin/endortin (Hilman, dalam Haryanto 1999). Dijelaskan oleh Subandi (dalam Haryanto 1999) bahwa kelenjar endortina dan enkafalina yang dihasilkan oleh kelenjar pituitrin di otak ternyata mempunya efek yang mirip dengan opiat (candu), sehingga disebut “opiat endogen”. Menurut Kastama dkk, (dalam Haryanto 1999) bahwa zat yang mirip dengan morfin yang dihasilkan oleh tubuh manusia dengan rumus kimia C17H19N03 disebut endofina dan encephalina yaitu yang dihasilkan oleh kelenjar hipofese di otak. Berdasarkan keterangan beberapa ahli ini dapat disimpulan bahwa dalam diri manusia telah mempunyai zat semacam morfin yang memiliki fungsi kenikmatan (pleasure principle). Ditambahkan oleh Haryanto (1990; 1994) apabila seseorang memasukkan atau kemasukan zat morfin ke dalam tubuh, misalnya mereka yang menyalahgunakan narkotika; maka akan terjadi penghentian produksi endorfin. Apabila dilakukan penghentian martin dan luar secara mendadak, ternyata tubuh tidak dapat dengan segera memproduksi endorfin tersebut. Untuk memproduksi endorfin tersebut dapat dibantu dengan kegiatan-kegiatan semacam meditasi dan zikir yang melibatkan aktifitas konsentrasi. Jadi sholat dapat membantu merangsang atau mempercepat tubuh untuk memproduksi endorfin. Hal ini juga sudah dibuktikan di Inabah Pondok Pesantren Suryalaya yang membina anak korban penyalahgunaan narkotika dengan pendekatan sholat. Setelah anak-anak dibina mereka tidak lagi ketergantungan pada morfin.

Banyak orang melakukan sholat, tapi tidak mengingat Allah. Padahal perintah dilakukanya sholat untuk mengingat Allah. Sebagaimana dalam Al-Qur`an yang berbunyi: “Aqimissholah lizikri”. Menurut sebagian besar orang sholat merupakan rutinitas semata, yang jika telah dilakukan maka gugurlah kewajiban. Sehingga sholat yang dilakukan tersebut tidak memiliki bekas (atsar) dan manfaat pada dirinya.

Aspek kualitas dalam sholat yang menjadi kunci utama dalam penyembuhan penyakit. Aspek kualitas ini tergambar dari keimanan dan kekhusukan seseorang dalam melakukan sholat. Berdirinya manusia dihadapan Allah dengan khusu` dan tunduk, mengarahkan seluruh jiwa dan raganya kepada Allah, berpaling dari semua problem dan kesibukan dunia dan tidak mengingat sesuatu melainkan Allah dengan ayat –ayat Al-Qur`an yang dibacanya akan membekalinya dengan suatu tenaga rohani yang menimbulkan perasaan tenang jiwa yang damai, qalbu yang tentram dan pikiran yang bebas dari beban. Sikap khusu` merupakan aktifitas kognitif melibatkan daya konsentrasi yang kuat kepada Allah.Menurut Dr. M. `Utsman Najati (2000) sholat yang berkualitas merupakan kegiatan terapeutik yang sangat penting dalam meredakan ketegangan syaraf dan menurunkan kegelisahan yang diderita oleh seseorang. Keadaaan tenang dan jiwa yang damai yang ditimbulkan oleh sholat bisa tetap berlangsung untuk beberapa lama setelah sholat dilakukan.

Iman sebagai landasan utama kualitas sholat. Iman landasan perbutan dan dengan iman sikap khusu` dalam sholat dapat dicapai. Keimanan adalah obat yang paling mujarab. Keimanan adalah hidup itu sendiri (lihat Q.S: Al-Ahkaf 13-14). Menurut Al-Qorni (2005) sholat merupakan obat mujarab untuk mengobati penyakit, karena sholat dapat memasukkan iman kedalam jiwa. Cara sholat seperti itu akan menghasilkan suatu kualitas sholat yang dapat menghilangkan rasa sakit dan dapat pula menyembuhkan penyakit.

Diakhir tulisan ini, sebagai langkah praktis, ada beberapa hal yang diusahan agar kualitas sholat dapat diraih, diantaranya:

1. Adannya motivasi intrinsik, niat yang didasari iman karena Allah SWT., Jangan lalai dari sholat dan jangan melakukan karena ria (ekstrinsik), lihat QS.: 107:4-6.

2. Pusatkan perhatian kepada Allah dan mencurahkan perhatian pada waktu sholat. Lihat QS.:7:29. Khusu` dalam keadaan bagaimanapun juga, lihat QS.: 2: 238-239, QS. 4;101-103, QS.23: 1-2. Sholat sangat berat, kecuali bagi orang yang khusu: 2;45-46. Sholat dilakukan dengan ketenangan (tuma`ninah), gerakan dalam sholat dilakukan dengan baik, tenang dan tidak terburu-buru (mutmainnah).

3. Melakukan pula sholat sunnah lainnya, sperti tahajjud. Sholat tahajjud sebagai tambahan ibadah, lihat QS.:17:79. Bangun dipenghujung malam (sholat tahajjud), mengingat Allah, berwudlu, dan kemudian mendirikan sholat dapat membuat seseorang menjadi aktif dan bergairah (Hadist).

4. Berdoa setelah sholat dengan penuh harap dan husnuzon (prasangka baik) pada Allah dapat mempercepat dan membantu penyembuhan. QS. Al-Mu`min: 60 dan Al-Baqarah:186.

Penutup

Hingga saat ini penanganan rasa sakit dilakukan dengan berbagai pendekatan, diantaranya: pendekatan medis, pendekatan farmakologik, pendekatan psikologik dan pendekatan alternatif lainnya. Pendekatan tersebut memiliki kelemahan secara spiritual, dan hasil terapi yang dicapai kurang maksimal. Sholat sebagi ibadah ritual dapat menjadi sebuah kebutuhan dan menjadi sarana komunikasi manusia dengan Tuhan yang memiliki nilai terpeutik sangat penting dalam mengatasi rasa sakit.

Kunci dari mengatasi rasa sakit itu terletak pada kualitas sholat yang tercermin dari keimanan yang terpadu dalam kekhusukan. Khusu` dalam sholat merupakan proses kognisi yang dapat menghambat rangsang sakit di otak, sehingga tercipta efek depresan (obat penenang). Dengan kondisi ini dapat menangani rasa sakit dan dapat pula menyembuhkan penyakit psikis maupun fisik. Tulisan ini bukan sekedar wacana alternatif terapi, namun perlu penghayatan dan pengamalan. Untuk pengembangan konsep ini, sangat dimungkinkan dilakukan penelitian bersifat eksperimen. Allah SWT tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, AW. 1985. Hubungan antara Keteraturan Menjalankan Sholat dengan Kecemasan. Skripsi. Fak. Psikologi UGM. Yogyakarta.

Al-Qorni, Aidh bin Abdullah. 2005. Dont be sad, La tahzan, Cara hidup positif tanpa pernah sedih dan frustrasi. Jakarta: Maghfirah Pustaka.

Al-Qur'an dan Terjemahannya. 1971. Jakarta: Yayasan Penyelenggaar Terjemahan/Tafsir AI-Qur' an.

Ancok, Djamaluddin. 1989. Agama dan Psikoterapi. Atarbiyah. Edisi Perdana Nomor 1/Tahun I/April Tahun 1989.

-———.1994. Rasa Sakit Tinjauan Psikologis. LPM Pengelolaan Rasa Sakit. Bagian Psikologi Klinis Fak. Psikologi UGM.

Ancok, Djamaluddin dan Suroso. 1994. Psikologi Is/ami. Edisi III Tahun 1992. Yogyakarta : Keluarga Muslim Fak. Psikologi UGM.

Ash-Shiddieqy, TMH. Pedoman Sholat. Jakarta: Bulan Bintang.

Hadhiri, Chairuddin.1995. Klasifikasi kandungan AI-Qur^an. Jakarta: Gema insan Press.

Haryanto. 1990. Iman dan Kesehatan Mental. Makalah. Tidak diterbitkan.

-————.1994. Hubungan antara Lama Pembinaan dengan Ketergantungan Pada Narkoba. Tesis. PPS UGM. Yogyakarta.

-———.1999. Buku Ajar Studi Islam Kontekstual (SIK Pendidikan Agama Islam) Tinjauan Psikologis Ibadah Sholat. Fak. Psikologi UGM.

Kartono, Kartini dan Andari, Jenny. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam. Bandung: Mandar Maju.

Najati, M. 'Utsman,. 2000. AI-Qur 'an dan Ilmu Jiwa. Bandung: Pustaka Pelajar.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 1969. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.

Prawirohusodo. 1994. Rasa Nyeri: Suatu Tinjauan Medis. LPM Pengetolaan Raa Sakit. Bagian Psikologi Klinis Fak. Psikologi UGM.

Rasjid, Sulaiman. 1998. Fiqih Islam. Algesindo: Sinar Baru.

Saboe, A. 1986. Hikmah Kesehatan dalam Sholat. Bandung: PT. AI-Ma'arif.

Shihab, Quraisy. 1998. Wawasan AI-Qur`an. Tafsir Mudhu atas Pelbagi Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Su'dan, MD. 1997. AI-Qur`an dan Panduan Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.

Mewaspadai Olahraga Pernafasan

Sekitar 20 orang berdiri dengan gagah di Gelanggang Olah Raga, Jalan A Yani, Bekasi. Kedua kaki mereka membentuk kuda-kuda yang sangat kuat.

Sesaat kemudian, tangan mereka menghentak ke depan secara tiba-tiba. Beberapa detik berikutnya, kedua tangan itu ditarik ke belakang. Lalu, kaki mereka digeser perlahan ke depan secara serempak.

Perhatian mereka tampak tengah dipusatkan ke satu titik tertentu. Hiruk pikuk orang di sekeliling tak mereka pedulikan

Begitulah suasana latihan para anggota Lembaga Seni Pernafasan (LSP) Satria Nusantara Bekasi, Jawa Barat. Ketika itu, mereka tengah serius melatih jurus-jurus yang disertai pernapasan dan dikombinasikan dengan upaya peningkatan konsentrasi.

Lembaga tersebut hanyalah satu dari sekian banyak lembaga yang bergerak di bidang olahraga pernapasan yang belakangan ini marak di Tanah Air. Nama-namanya beranekaragam. Mulai dari Cakra Murti Indonesia, Maju Sehat Bersama (Mahatma), Tinarbuka, Prana Shakti Jayakarta, hingga Bagu Manunggal. (Lihat boks: Janji-janji Itu).

Masing-masing lembaga atau perguruan memang menawarkan berbagai bentuk olahraga pernafasan dengan beragam tujuan dan manfaat. LSP Satria Nusantara, misalnya, berupaya memadukan antara gerak tubuh dan pernafasan serta konsentrasi untuk menghasilkan suatu sistem biolistrik tubuh yang lebih mantap, kuat, dan teratur.

"Dengan begitu, ilmu ini dapat digunakan untuk membela diri sendiri terhadap berbagai serangan (penyakit) di dalam tubuh," jelas Ketua LSP Satria Nusantara Bekasi, Karyaman LB.

Pada prinsipnya, kata Karyaman, latihan pernafasan dalam Satria Nusantara diupayakan untuk mengembangkan enam indera manusia dengan tiga kekuatan.

Kekuatan pertama adalah kekuatan fisik yang dilatih dengan gerak atau jurus tertentu. Yang kedua, merupakan kekuatan batin yang dilatih dengan pernafasan tertentu. Adapun kekuatan iman dilatih dengan dzikir khafi atau hati. "Ini murni gerak tubuh kita dan konsentrasi kita. Tidak ada mantra, jin, atau setan," kata Karyaman.

Adapun Lembaga Seni Pernafasan (LSP) Maju Sehat Bersama (Mahatma) berupaya mengadopsi olah raga senam untuk kesehatan. Setiap gerakan yang dilakukan dalam latihan dimaksudkan untuk mengasah aura peserta pelatihan.

Menurut Ketua LSP Mahatma Cabang Pondok Gede Housing, Bekasi, Tony Radiansyah, sebaiknya setiap anggota bisa memadukan olah nafas, gemulainya tubuh, dan konsentrasi secara simultan. Dengan begitu, lanjut Toni, kerangka berpikir orang dapat lurus dan bersih.

Satu hal yang paling penting dalam olahraga ini, kata Tony adalah pernafasan. Artinya, gerak nafas harus benar. Apabila hal tersebut telah tercapai, diharapkan para peserta bisa menjadi sehat dan kemudian bisa berfikir wajar.

"Jadi, targetnya itu setelah sehat nanti, mampu berpikir bijaksana. Kan enggak mungkin kalau orang sakit itu bisa bijaksana. Bagaimana bisa bijaksana kalau masih mikirin sakitnya sendiri?" ungkap Tony.

Sebagian besar di antara lembaga atau perguruan khusus olahraga pernafasan, memang tidak hanya menawarkan kebugaran. Namun, mereka juga menjanjikan kepada anggotanya untuk bisa menyembuhkan penyakit. Bukan cuma satu atau dua penyakit, sebagian di antaranya bahkan mengklaim bisa menyembuhkan segala jenis penyakit.

Hal tersebut diakui Karyaman. Menurut dia, tenaga kasat mata yang dikeluarkan dari tubuh manusia yang dilatih terus ini, dapat dimanfaatkan untuk membela diri terhadap serangan dari luar. "Bahkan, dapat pula dipergunakan untuk menolong atau mengobati orang yang sakit."

Beberapa waktu lalu, kata Karyaman, ada salah seorang peserta yang terkena stroke. Pada awalnya, dia sama sekali belum bisa melakukan gerakan. Namun, beberapa waktu kemudian, orang tersebut sembuh dari sakitnya. "Artinya, memang ada kekuatan tersembunyi sehingga orang stroke pun tidak lama kemudian mulai baik kondisi tubuhnya," sambungnya.

Dalam nada yang hampir sama, Tony menyatakan, Mahatma merupakan ilmu pernafasan yang yang disebut-sebut memiliki pengaruh luar biasa terhadap kesehatan. Dengan mengolah pernafasan ala Mahatma ini, berbagai penyakit, baik fisik dan non fisik, dapat diobati dengan sangat cepat.

Adapun penyakit fisik yang dikatakan dapat diobati dengan cepat dengan mentransfer tenaga dalam ini antara lain asma, alergi, maag, darah tinggi/rendah, jantung, dan kencing manis. Selain itu, kata Tony, "Mahatma mampu membebaskan seseorang dari kebiasaan dan ketergantungan menggunakan obat-obatan."

Olahraga serupa lainnya di berbagai daerah di Tanah Air, lebih mendekatkan diri kepada ajaran para leluhur mereka. Perguruan Seni Beladiri Senam Pernafasan Tinarbuka yang pernah digandrungi warga Yogyakarta pada sekitar 2002 lalu, misalnya, lebih mengarah kepada upaya penyembuhan non medis.

"Para peserta olahraga ini biasanya bisa menyembuhkan orang yang kena santet," terang pimpinan Tinarbuka, Widji Ono Pamungkas. Namun, upaya penyembuhan sebagaimana dilakukan Mahatma atau Satria Nusantara, kata dia, belum bisa dilaksanakan di Tinarbuka.

Adanya iming-iming untuk sehat dan bahkan bisa menyembuhkan aneka penyakit inilah agaknya yang menggiurkan ribuan atau bahkan jutaan peserta di Tanah Air. Pertanyaannya kemudian, benarkah upaya penyembuhan tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara medis?

Menurut pengajar pada bagian Ilmu Kedokteran Olahraga, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Nani Cahyani, tidak pernah ada kegiatan olahraga yang secara langsung bisa menyembuhkan semua penyakit. Setiap kegiatan olahraga, kata dia, memiliki tujuan yang khusus. "Olahraga itu dilakukan dengan tujuan untuk kebugaran, menurunkan berat badan, atau untuk mengobati satu gejala penyakit tertentu?" tuturnya.

Kalau harus untuk menyembuhkan penyakit, ujar Nani, pertanyaannya kemudian adalah, penyakit apa yang harus disembuhkan? Soalnya, pengobatan terhadap penyakit itupun tidak bisa secara umum diperlakukan dengan sama. "Kalau orang kena tumor, misalnya, bagaimana mungkin bisa disembuhkan dengan latihan olahraga?" kata dia.

Jika ada seseorang mengalami gangguan fungsi paru, misalnya, kata Nina, beberapa bentuk latihan olahraga memang bisa dilakukan. Dengan berolahraga secara teratur, kata dia, fungsi paru itu bisa ditingkatkan.

Sementara itu, seseorang yang terkena diabetes melitus, ucap Nina, juga harus terus melakukan olahraga kendati penyakit tersebut tidak akan bisa disembuhkan. Dengan berolahraga, kadar obat yang harus diminumnya, bisa dikurangi.

Namun, jika kemudian olahraga pernafasan membuat seseorang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita orang lain, Nina mengaku tidak bisa menjawabnya. Apalagi, jika kemudian seseorang bisa menjadi kebal atau meloncat hingga suatu ketinggian tertentu di luar kewajaran. Secara ilmu kedokteran, kata Nina, hal tersebut tidak bisa dianalisa.

Untuk itu, kata Nina, seseorang harus benar-benar mempelajari kelebihan olahraga pernafasan tertentu. Artinya, seseorang harus tahu secara persis, apa tujuan akhir dari olahraga tersebut? Jika tujuan akhir tersebut masih mungkin diraih secara logis, saran Nina, "Olahraga itu layak untuk dijalani." nur hidayat/siswanto


DAMPAK OBESITAS TERHADAP FAAL PARU


Print this article Email this article to friend

Laksmi Wulandari, Manasye Lulu Udju Edo
Bagian /SMF llmu Penyakit Paru FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya
PENDAHULUAN
Obesitas yang menjadi epidemi di beberapa negara maju dan negara-negara berkembang sebenarnya dapat dianggap sebagai akibat kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan teknologi dalam beberapa dekade terakhir. Bahan makanan tersedia berlimpah dengan harga yang relatif murah. Makanan dengan kandungan kalori yang tinggi tersedia di banyak gerai-gerai makanan cepat saji di kota-kota besar. Teknologi yang memberikan kemudahan dan penggunaan alat-alat elektronik telah menjadi gaya hidup sehari-hari yang mengakibatkan kurangnya aktifitas fisik. Namun selain faktor perilaku dan lingkungan tersebut, faktor genetik juga ikut berperan pada timbulnya obesitas.
Prevalensi obesitas terus meningkat secara dramatis dari sekitar 9,4% pada National Health and Nutrition Examination Survey/NHANES I (1971-1974) menjadi 14,5% pada NHANES II (1976-1980), 22,5% pada NHANES III (19881994), dan 30% pada survey tahun 1999-2000.
Obesitas, khususnya obesitas sentral (abdominal), berasosiasi dengan sejumlah gangguan metabolisme dan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi antara lain: resistensi insulin dan diabetes mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis, penyakit hati dan kandung empedu, bahkan beberapa jenis kanker. Selain itu obesitas (khususnya tipe morbid) juga berasosiasi dengan beberapa jenis gangguan pernafasan. Perubahan yang terjadi antara lain meliputi: mekanika pernafasan, tahanan aliran udara, pola pernafasan, pertukaran gas dan respiratory drive, yang akhirnya mengakibatkan abnormalitas tes faal paru.
Obesitas merupakan penyebab utama penurunan kapasitas latihan fisik dan gangguan pernafasan pada saat tidur (obstructive sleep apnea syndrome [OSAS]). Sebagian kecil penderita obesitas morbid mengalami hipoksia dan hipekarbia kronik tanpa adanya kelainan parenkim paru (obesity-hypoventilation syndrome [OHS]). Makalah ini akan membahas dampak obesitas pada sistem pernafasan, kelainan faal paru yang ditimbulkannya, serta manfast penurunan berat badan.
KOMPLIKASI RESPIRATORIK PADA OBESITAS
Komplikasi respiratorik yang dapat dijumpai pada obesitas (Tabel 1) sebagian besar ditentukan oleh jumlah dan distribusi lemak tubuh. Hal tersebut dapat mempengaruhi mekanika dan fisiologi pernafasan. Penelitian klinis, laboratorik, maupun epidemiologis telah menunjukkan adanya hubungan antara obesitas dan gangguan pernafasan, termasuk pada OSAS, OHS, dan asma, namun patofisiologinya belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Tabel 1: Komplikasi respiratorik akibat obesitas
Perubahan mekanika respirasi / berkurangnya kemampuan regangan jaringan paru
Peningkatan tahanan sistem pernafasan
Perubahan pola pernafasan dan respiratory drive
Berkurangnya kekuatan dan ketahanan otot-otot pernafasan
Gangguan pertukaran gas
Peningkatan beban kerja pernafasan
Berkurangnya toleransi aktivitas fisik
Gangguan pernafasan saat tidur
Peningkatan risiko tromboemboli vena
Peningkatan risiko aspirasi
Peningkatan risiko komplikasi pernafasan pada pembiusan dan perioperatif
Perubahan mekanika respirasi / kemampuan regangan paru
Obesitas, khususnya pada penderita OHS, menyebabkan kemampuan regangan (compliance) paru, dinding thorax, dan sistem pernafasan secara keselurnhan. Penurunan compliance ini disebabkan oleh bertambahnya volume darah pulmoner dan kolapsnya saluran-saluran nafas terminal. Kelebihan berat badan memberikan beban tambahan pada thorax dan abdomen dengan akibat peregangan yang berlebihan pada dinding thorax. Selain itu otot-otot pernafasan harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan tekanan negatif yang lebih tinggi pada rongga pleura untuk memungkinkan aliran udara masuk saat inspirasi. Pada penderita obesitas sederhana (simple obesity, tanpa OHS) compliance paru mungkin normal atau mendekati normal. Dengan demikian diduga ada mekanisme lain yang menyebabkan timbulnya perubahan compliance pada penderita OHS.
Peningkatan tahanan sistem pernafasan
Tahanan sistem pernafasan secara keseluruhan mengalami peningkatan pada penderita obese. Pada penderita obesitas sederhana peningkatan terjadi sekitar 30%, sedangkan pada penderita OHS dapat mencapai 100%. Peningkatan ini kemungkinan besar berkaitan dengan peningkatan tahanan pada saluran-saluran nafas kecil (bukan saluran nafas besar) karena ternyata volume paru berkurang. Dengan demikian ratio FEV/ FVC akan tetap normal (selama tidak dijumpai penyakit paru obstruksif). Tahanan ini makin meningkat bila penderita berbaring terlentang karena beban massa yang ditimbulkan oleh lemak di daerah supra-laring pada saluran nafas, dan peningkatan aliran darah pulmoner, yang pada akhirnya mengakibatkan saluran nafas makin menyempit. Pada posisi terlentang juga terjadi penurunan kapasitas residual fungsional (functional recidual capasity [FRCl) yang akan menambah tahanan saluran nafas.
Perubahan pola pernafasan / respiratory drive
Sebagian besar penderita obesitas adalah eukapnik. Namun sebagian kecil di antaranya (terutama penderita OHS) mengalami peningkatan PaCO2 secara kronis. Baik kelompok penderita obesitas sederhana maupun OHS mengalami perubahan pola pernafasan, namun masing-masing memiliki pola yang berbeda. Sebagai usaha untuk mengkompensasi peningkatan beban pada otot-otot pernafasan, penderita obese mengalami peningkatan respiratory drive yang mengakibatkan peningkatan ventilasi semenit (minute ventilation [Ve]). Penderita obese eukapnik mengalami peningkatan frekuensi nafas sekitar 25% - 40% dibandingkan orang normal, sedangkan volume tidalnya (Vt) tetap normal baik pada saat istirahat maupun saat aktivitas fisik. Eukapoia juga tetap dipertahankan akibat terjadi peningkatan rangsangan saraf pada otot-otot pernafasan, dan peningkatan respons pernafasan terhadap hipoksia. Penderita obese eukapnik juga mengalami perubahan central breath timing (penurunan waktu ekspirasi) sebagai akibat perubahan compliance sistem pernafasan. Penderita obesitas sederhana menunjukkan penurunan respons pernafasan terhadap CO2 dibandingkan penderita non obese.
Dibandingkan penderita obesitas sederhana, penderita OHS mengalami peningkatan frekuensi nafas sebesar 25% dan penurunan Vt sebesar 25%. Penurunan Vt menyebabkan gangguan ventilasi alveolar. Perubahan mekanika dinding thorax atau gangguan fungsi otot-otot pernafasan menyebabkan berkurangnya kemampuan penderita untuk mengoreksi PaCO2 selama manuver hiperventilasi volunter. Selain itu didapatkan pula penurunan respons tekanan oklusi rongga mulut terhadap perubahan CO2. Keduanya mengindikasikan bahwa pada penderita OHS terjadi perubahan pola pernafasan akibat abnormalitas respiratory drive. Secara umum, penderita OHS memiliki gangguan respons pernafasan terhadap perubahan CO2 dan hipoksia yang lebih berat dibandingkan penderita obesitas sederhana.
Kekuatan dan ketahanan otot pernafasan
Kekuatan otot-otot inspirasi dan ekspirasi mungkin sedikit terganggu pada penderita OHS. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, namun diduga berkaitan dengan infiltrasi lemak pada otot-otot dan peregangan berlebihan pada otot diefragma. Ketahanan otot-otot pernafasan yang diukur dengan manuver ventilasi volunter maksimal (maximal voluntary ventilation [MW]) juga menurun.
Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas pada obesitas tergantung pada derajat keparahan obesitas, apakah penderita termasuk obesitas sederhana atau OHS (Tabel 2). Penderita obesitas ringan hingga sedang memiliki PaC02 yang normal. Penderita dengan obesitas sederhana mengalami penurunan PaCO2 dan perbedaan tekanan oksigen alveolar dan arteri yang makin lebar. Abnormalitas tersebut makin parah pada penderita OHS. Penderita OHS mengalami hipoksemia, baik pada siang maupun malam hari. Hipoksemia ini disebabkan oleh ketidaksetaraan ventilasi / perfusi (V/Q) dan shunting pada bagian paru (khususnya bagian basal) yang mengalami atelektasis dan oklusi saluran nafas tetapi masih tetap mendapatkan perfusi yang normal. Dibandingkan penderita obesitas sederhana, pada penderita OHS didapatkan fraksi shunting yang lebih besar (± 40% curah jantung) dan rasio V/Q yang lebih rendah. Hipoventilasi ikut berperan pada terjadinya hipoksemia pada penderita OHS. Hipoksemia ini makin berat bila penderita berbaring terlentang, karena FRC akan makin berkurang. Pada penderita OHS PaCO2 meningkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh abnormalitas respiratory drive dan peningkatan beban kerja pernafasan. Pada kondisi dimana terjadi peningkatan baban kerja pernafasan yang berlebihan maka hipoventilasi dan toleransi terhadap PaCO2 yang lebih tinggi merupakan mekanisme kompensasi untuk mencapai efisiensi energi. Kemoreseptor pada susunan saraf pusat kemudian menyesuaikan diri terhadap peningkatan PaC02 yang menyebabkan berkurangnya respiratory drive. Beberapa faktor yang lain, termasuk OSAS, diameter saluran nafas bagian atas yang kecil, dan obesitas sendiri ikut berperan pada patogenesis OHS.
Tabel 2: Abnormalitas tes faal paru dan pertukaran gas pada Obesitas sederhana (OS) dan Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)
Parameter OS OHS
VC Normal
ERV
FRC
TLC Normal
RV Normal
MW Normal
Pl max Normal
PE max Normal
PaO2 Normal
PaCO2 Normal
PACO2-PaCO2 Normal
VC = vital capacity, ERV = expiratory reserve volume, FRC = functional residual capacity, TLC = total lung capacity, RV = residual volume, MW = maximum voluntary ventilation, Pl max = maximum inspiratory muscle pressure, PE max = maximum expiratory muscle pressure
Peningkatan beban kerja pernafasan
Beban kerja pernafasan adalah banyaknya energi yang dibutuhkan dalam proses pernafasan. Untuk mengukur banyaknya energi yang dibutuhkan tersebut digunakan ukuran antara berupa banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot-otot pernafasan untuk tiap liter ventilasi (oxygen cost). Pada penderita obesitas berat oxygen cost meningkat beberapa kali lipat. Secara keseluruhan terjadi peningkatan beban kerja pernafasan pada penderita obesitas karena peningkatan oxygen cost, penurunan kemampuan regangan jaringan paru (compliance), peningkatan tahanan sistem pernafasan, peningkatan nilai ambang beban inspirasi akibat massa jaringan lemak yang berlebihan. Penderita OSAS juga mengalami peningkatan tahanan saluran nafas di daerah faring dan nasofaring yang berkorelasi dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan semakin meningkatkan beban kerja pernafasan. Penderita obesitas sederhana mengalami peningkatan beban kerja pernafasan sebesar 60% dibandingkan orang normal, sedangkan penderita OHS mengalami peningkatan sebesar 250% 42.
Berkurangnya toleransi aktivitas fisik
Kebanyakan penderita obesitas mengalami hambatan untuk melakukan aktivitas fisik. Beberapa mekanisme berperan pada berkurangnya toleransi aktivitas fisik tersebut (Tabel 3). Sebagian besar penelitian tentang aktivitas fisik dan obesitas dilaksanakan pada penderita obesitas sederhana. Laju metabolisme tubuh saat istirahat mengalami peningkatan. Penderita obese mengkonsumsi oksigen 25% lebih banyak dibandingkan nonobese. Hal ini makin bertambah saat penderita melakukan aktivitas fisik. Banyaknya energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan massa tubuh merupakan salah satu penyebab meningkatnya beban metabolisme untuk menghasilkan kerja ringan hingga sedang. Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen ikut berperan pada peningkatan beban kerja ventilasi. Hal ini akan memicu makin meningkatnya denyut jantung dan frekwensi pernafasan pada saat puncak aktivitas fisik, walaupun aktivitas fisik yang dikerjakannya hanya sub-maksimal. Dengan demikian penderita obese akan mengalami penurunan kemampuan melakukan aktivitas fisik walaupun kondisi kardiovaskulernya cukup sehat. Konsumsi oksigen maksimal (V02 max) yang dinyatakan dalam mL/kg berat badan/menit adalah rendah dan berbanding terbalik dengan prosentase lemak tubuh. Perbandingan nilai ambang anaerobik terhadap berat badan juga menurun.
Semua perubahan tersebut menimbulkan sensasi sesak nafas dan mengakibatkan penderita obese cenderung mengurangi tingkat aktivitas fisiknya (deconditioning). Faktor kardiovaskuler juga ikut berperan. Penderita hipoksemia kronik dengan / tanpa gangguan pernafasan saet tidur akan mengalami hipertensi pulmoner. Akibatnya akan timbul gangguan fungsi ventrikel kanan dan kiri pada saat aktivitas. Disfungsi diastolik juga dapat terjadi bila terdapat hipertensi, iskemia miokard, penyakit mikrovaskuler (biasanya terkait dengan Diabetes) seringkali dijumpai pada penderita obesitas. Gangguan muskulo-skeletal (misalnya kesulitan berjalan dan rasa nyeri akibat artritis) akan makin membatasi aktivitas penderita. Semua faktor tersebut menyebabkan menurunnya kapasitas fungsional Penderita obesitas berat akan makin sulit melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Tabel 3: Mekanisme penurunan toleransi aktivitas fisik pada obesitas.
Peningkatan laju metabolisme saat istirahat dan saat aktivitas
Beban metabolisme yang tinggi untuk menggerakkan massa tubuh
Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen
Rendahnya cadangan ventilasi dan kardiovaskuler
Rendahnya nilai ambang anaerobik
Sesak nafas
Deconditioning
Hipertensi pulmoner
Disfungsi diastolik
Iskemia miokard
Penyakit pembuluh darah tepi / mikrovaskuler
Abnormalitas muskulo-skeletal
Kecemasan
Gangguan pernafasan saat tidur
Sekitar 50% penderita obese menderita OSAS. Obesitas dan lingkar leher yang besar (> 43 cm) merupakan predisposisi terjadinya penyempitan pada saluran nafas bagian atas (daerah retrofaring). Timbunan lemak pada dan di sekitar faring, demikian pula pada dinding thorax dan abdomen ikut berperan pada timbulnya penyempitan dan oklusi saluran nafas bagian atas pada saat penderita tertidur. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi, apnea, penurunan saturasi oksihemoglobin, yang menimbulkan rangsangan kemoreseptor perifer di carotid bodies dan membangkitkan refleks pada susunan saraf pusat berupa peningkatan aktivitas saraf simpatis. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah dan gelombang elektroensefalografik (EEG). Pada saat penderita terjaga dari tidurnya, saluran nafas bagian atas kembali terbuka, apnea terhenti, ventilasi meningkat diatas normal, saturasi oksigen kembali normal, demikian pula aktivitas saraf simpatis. Penderita OSAS yang tidak diterapi memiliki mortalitas yang tinggi.
Penderita yang lebih obese biasanya menderita OHS yang ditandai dengan hipoventilasi alveolar, hiperkarbia dan hipoksia pada pagi dan siang hari yang makin parah saat penderita tidur, hipertensi pulmoner, dan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Sebagian besar penderita OHS juga mengidap OSAS. Komplikasi pada OSAS dan OHS meliputi: gangguan neuro-psikiatrik yang berkaitan dengan kurangnya waktu tidur, aritmia jantung, hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, hipertensi sistemik, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, polisitemia, dan stroke.
Risiko terjadinya trombosis vena dan emboli paru
Obesitas merupakan faktor risiko indipenden terjadinya trombosis vena profundus. Risiko terjadinya emboli paru juga meningkat seiring dengan peningkatan IMT. Tromboemboli terutama terjadi pasca tindakan operasi. Kurangnya aktivitas fisik dan penurunan fibrinolisis pada obesitas diduga mendasari kedua hal tersebut.
Risiko teriadinya aspirasi
Tingginya volume cairan lambung, tingginya kejadian refluks gastro-esofageal, dan peningkatan tekanan intra-abdominal merupakan beberapa hal yang yang meningkatkan risiko terjadinya aspirasi pada penderita obesitas.
KELAINAN FAAL PARU PADA OBESITAS
Kelainan faal paru yang dijumpai pada penderita obesitas menggambarkan perubahan fisiologis pada mekanika pernafasan dan resistensi aliran udara. Derajat beratnya kelainan faal paru tergantung pada beratnya obesitas, dan distribusi lemak tubuh (Tabel 2). Abnormalitas faal paru yang paling sering dijumpai pada obesitas adalah penurunan volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume [ERV]). Hal ini disebabkan oleh beban massa dan pemindahan beban dari dinding thorax bagian bawah dan abdomen ke paru-paru, serta naiknya posisi diafragma. Penurunan ERV terjadi seiring dengan bertambahnya derajat obesitas, lebih-lebih pada saat penderita berbaring terlentang. Didapatkan pula penurunan kapasitas vital paksa (forced vital capacity [FVC]), dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (forced expiratory volume in 1 second [FEV,]). Pada penderita obesitas sederhana kapasitas vital (vital capacity [VC]) dan FRC mungkin menurun, namun nilai kapasitas paru total (total lung capacity [TLC]) tetap normal. Dengan demikian bila dijumpai kelainan TLC pada penderita obesitas, harus segera dicari adanya penyebab yang lain. Penurunan volume paru (termasuk ERV, FRC, VC, dan TLC) lebih parah terjadi pada penderita OHS dibandingkan penderita obesitas sederhana. Kapasitas difusi gas-gas pernafasan juga menurun seiring dengan bertambahnya derajat obesitas. Kapasitas difusi gas CO umumnya masih normal pada penderita obesitas sederhana, tetapi mulai menurun pada penderita OHS.
Distribusi lemak tubuh ikut menentukan pengaruh obesitas pada tes faal paru. Dibandingkan penderita obesitas perifer, penderita obesitas sentral mengalami penurunan FVC, FEV,, TLC, dan MW yang lebih berat. Penurunan MW berbanding lurus dengan peningkatan IMT dan penurunan aliran udara ekspirasi (FVC dan FEV,) serta volume paru.
MANFAAT PENURUNAN BERAT BADAN
Penurunan berat badan membawa dampak yang menguntungkan dari segi metabolik
dan kardiovaskuler. Demikian pula halnya terhadap gangguan pernafasan. Upaya pengaturan diet, olahraga, atau pembedahan terbukti memperbaiki gangguan pernafasan pada obesitas. Penurunan berat badan menyebabkan perbaikan oksigenasi, kadar karbon dioksida, volume paru, fungsi otot-otot pernafasan, toleransi terhadap aktivitas fisik dan pertukaran gas saat aktivitas fisik. Pertukaran gas saat penderita tidur juga mengalami perbaikan dan dengan demikian memperbaiki kwalitas tidur serta mengurangi gejala mengantuk pada pagi dan siang hari.
Strategi intervensi untuk menurunkan berat badan yang berhasil akan menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita obese secara bermakna. Perencanaan diet terstruktur dan program olahraga, termasuk didalamnya program rehabilitasi paru, harus selalu dipertimbangkan pada penderita obesitas yang mengalami gangguan pernafasan. Selama olahraga saturasi oksigen harus dipertahankan > 90%, terutama pada penderita dengan hipertensi pulmoner, agar tidak terjadi aritmia atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis saat aktivitas fisik yang dapat menyebabkan penderita jatuh pingsan atau mengalami kegagalan sirkulasi.
RINGKASAN
Obesitas menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tidak dapat diremehkan. Gangguan fungsi pernafasan yang terjadi pada obesitas meliputi: berkurangnya kemampuan regangan paru, peningkatan tahanan saluran nafas kecil, gangguan fungsi otot-otot pernafasan, peningkatan beban kerja pernafasan, gangguan pertukaran gas, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas fisik, gangguan pernafasan saat tidur, serta meningkatnya risiko tromboemboli dan aspirasi, khususnya pada penderita obesitas berat. Perubahan-perubahan tersebut tidak tergantung pada adanya penyakit dasar parenkim paru. Adanya komplikasi pernafasan ikut menambah keterbatasan fisik, menurunkan kwalitas hidup, dan makin meningkatkan mortalitas.
Penurunan berat badan secara bermakna akan menurunkan risiko dan derajat gangguan pernafasan pada penderita. Penderita obesitas dengan gangguan pernafasan harus diikutsertakan dalam program rehabilitasi terstruktur yang meliputi perencanaan diet, olahraga, dan perubahan perilaku yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas fungsional dan kwalitas hidup, serta mengurangi risiko terjadinya hipertensi pulmoner dan kegagalan kardiorespirasi.

The biarticulate long head of the triceps brachii [1 ] enters passive insufficiency through the completion of elbow flexion when the shoulders are more flexed and abducted or through the completion of shoulder flexion and abduction when the elbows are more flexed. The biarticulate long head of the triceps brachii [1 ] enters active insufficiency through the completion of elbow extension when the shoulders are more extended and adducted (other heads of the triceps becomes more active) or through the completion of shoulder extension and adduction when the elbows are more extended.

When the shoulder is internally rotated, the ability of the long head of the triceps brachii to extend and adduct the shoulder is diminished. The shoulder must be externally rotated in order for the long head of the triceps brachii to assist shoulder adduction.